Gereja Katolik Roma, yang pada tahun 1998 memiliki 1.217.800 orang, akan tetapi pada tahun 2005 jumlahnya turun menjadi 875.600 orang.
Banyaknya jumlah gereja yang terjual dan
kosong di Inggris, disebabkan banyaknya warga Inggris yang enggan
melakukan peribadatan. Untuk tahun 2007 saja, tercatat hanya 10 persen
penduduk negara itu yang berangkat ke gereja tiap pekannya. Sedangkan 15
persen pergi ke gereja tiap bulannya. Adapun penduduk yang beribadah
setahun sekali di gereja mencapai 26 persen. Dan mereka yang tidak
pernah ke gereja sama sekali sudah mencapai 59 persen, sebagaimana hasil
riset Tearfund (3/4/2007).
Penurunan anggota jumlah jama’ah beberapa
komunitas Kristen, semakin lama-semakin meningkat tajam. Gereja Katolik
Roma, yang pada tahun 1998 memiliki 1.217.800 orang, akan tetapi pada
tahun 2005 jumlahnya turun menjadi 875.600 orang, artinya komunitas ini
telah kehilangan 49 persen pengikutnya. Hal yang sama dialami komunitas
Metodis, yang pada tahun yang sama telah kehilangan 44 persen pengikut.
Dan yang paling parah adalah kondisi Serikat Gereja Reformasi, yang
telah kehilangan 53 persen anggotanya, sejak tahun 2005, sesuai data
hasil sensus gereja Inggris pada tahun 2005, yang dilansir National
Secular Society (14/9/2007).
Antara tahun 1990 hingga 2001, seluruh
gereja Inggris kehilangan 18 persen jama’ah pekanan, 17 persen
rohaniawan, dan 1 persen dari bangunan yang mereka miliki. Dampaknya,
sumbangan yang masuk ke “kantong” gereja berkurang hingga 3,5 milyar
pound sterling, sebagaimana dilansir The Economist (8/4/2003).
Jual Gereja
Yang menyedihkan, bukan hanya sepi pengunjung saja, beberapa gereja juga ikut terjual. Di penghujung tahun 2007, boleh dikata sebagai tahun “menyedihkan” bagi para penganut Katolik yang bermukim di Bufallo, New York. Pasalnya, mereka tak bisa melakukan ibadah lagi di Queen of Peace, sebuah gereja besar nan ekstotik yang berdiri di jalan Genesee 1955. Hal itu disebabkan karena gereja yang telah dibangun tahun 1920 itu segera ditutup di akhir 2007, karena akan dijual!
Yang menyedihkan, bukan hanya sepi pengunjung saja, beberapa gereja juga ikut terjual. Di penghujung tahun 2007, boleh dikata sebagai tahun “menyedihkan” bagi para penganut Katolik yang bermukim di Bufallo, New York. Pasalnya, mereka tak bisa melakukan ibadah lagi di Queen of Peace, sebuah gereja besar nan ekstotik yang berdiri di jalan Genesee 1955. Hal itu disebabkan karena gereja yang telah dibangun tahun 1920 itu segera ditutup di akhir 2007, karena akan dijual!
Sebelumnya,
hiasan-hiasan gereja sudah terlebih dahulu dijual ke sebuah gereja
paroki Katolik di Colorado. Sedangkan sebagian besar bangku-bangku telah
dibersihkan dan simbol-simbol Kristen telah dihapus.
.
.
Sebegaimana dilansir oleh The Bufallo
News (18/4/2009) Penjualan gereja yang dirancang oleh arsitek ternama
George Dietel itu digunakan untuk melunasi hutang gereja-gereja lainnya,
serta hutang keuskupan atas pemeliharaan dan perbaikan-perbaikan segala
properti yang dimilikinya.
.
.
Sebenarnya ada 4 pihak yang melakukan
penawaran, akan tetapi transaksi akhirnya jatuh ke tangan Yayasan Darul
Hikmah dengan harga 300 ribu dolar, atau senilai 2,8 milyar rupiah.
Rencananya area gedung dengan luas tanah 15.875 kaki persegi dan sekolah
dengan luas tanah 13.338 kaki persegi itu akan digunakan sebagai masjid
dan pusat kegiatan para pemuda Muslim, yang bakal menyemarakkan
aktivitas umat Islam New York, yang sebelumnya telah memiliki 9 masjid.
.
.
Gereja yang telah terjual sebenarnya
bukan hanya Queen of Peace saja. Ia merupakan gereja Katolik kedelapan
yang sudah terjual di Bufallo, semenjak tahun 2006. Dan Keuskupan masih
juga berusaha untuk menjual 30 properti lainnya, 7 diantaranya gedung
yang berada di kota itu.
.
.
Beberapa gereja Amerika lainnya, ada juga
yang memiliki nasib serupa dengan Queen of Peace. Yakni, sengaja
dijual, untuk menutupi kekurangan dana yang melanda komunitas gereja.
Adalah gereja St. Matthew, sebuah gereja yang berlokasi di Indian
Orchard juga dijual. Sebelumnya, gereja yang telah berusia 140 tahun
lebih itu telah dipromosikan selama lebih dari satu tahun.
.
.
Gereja yang dibangun sejak tahun 1864 itu
dibeli oleh Komunitas Islam Turki-Amerika, dengan harga 150 ribu dolar,
atau sekitar 1,4 milyar rupiah. Dan pada bulan Oktober 2006,
kepemilikan bangunan itu sudah resmi berpindah ke komunitas tersebut.
.
.
Pada awalnya, gereja tua itu dijadikan
tempat ibadah para imigran Irlandia yang sebagian besar bekerja di
pabrik-pabrik Indian Orchard dan Ludlow. Kegiatan di gereja itu sempat
aktif selama beberapa tahun, kemudian didirikanlah Paroki St Matthew
pada tahun 1879.
.
.
Komunitas Islam Turki-Amerika
menginginkan bangunan tua itu, karena keanggotaan komunitas ini sudah
mencapai 80 keluarga, sehingga mereka memerlukan tempat ibadah sendiri.
Dan kemungkinan, tidak hanya anggota Komunitas Islam Turki-Amerika yang
bakal meramaikan kegiatan ibadah di tempat itu, tapi komunitas
Meshkitian Turki juga ikut bergabung. Mereka merupakan pengungsi dari
bekas Republik Soviet Georgia. Mereka mulai menetap di wilayah itu
setahun yang lalu. Demikian lansiran dari Catholic News (12/7/2006).
.
Penawaran itu disambut posistif oleh
walikota, karena sejak bangunan itu beralih tangan ke pemerintah kota,
tidak ada satu pihak pun yang berminat untuk membelinya. Bahkan pada
tahun 2006 tagihan air sebanyak 208 dolar pun belum dibayar. Sedangkan
untuk menghancurkannya, juga memerlukan biaya tidak sedikit, yakni
membutuhkan biaya kurang lebih satu juta dolar.
.
.
Jika penjualan itu disetujui oleh Dewan
Umum, maka di Utica akan hadir satu-satunya masjid bermenara, yang mampu
menampung 600 jama’ah. Padahal di akhir tahun 2008 Bosnia Islamic
Assocation of Utica yang mayoritas anggotanya adalah pengungsi itu telah
membangun masjid di kawasan Albany Street dan Maria Street. Setelah
sebelumnya mereka beribadah di masjid yang didirikan oleh Muslim
Community Association (Perkumpulan Komunitas Muslim) di Kemble Street.
.
.
Mesjid yang dulunya adalah gereja
Di saat umat Kristen Inggris “lari” dari
gereja, umat Islam ambil alih tempat mereka untuk dijadikan masjid. Di
Peace Street 20 Bolton, berdiri sebuah gedung besar berkubah yang amat
berwibawa, yang lengkap dengan menara. Tempat itu ramai dikunjungi warga
Bolton, terutama yang memeluk Islam, bahkan tiap pekannya, ribuan umat
Islam hadir di tempat ini, guna melaksanakan shalat Jumat. Gedung itu
tidak lain adalah Masjid Zakariyya.
.
.
Sejarah berdirinya masjid itu, bukanlah
kisah yang singkat. Kala itu antara tahun 1965 hingga 1967 umat Islam
Bolton dan Balckburn belum memiliki tempat permanen untuk melaksanakan
shalat. Untuk melakukan shalat Jumat saja, mereka melaksanakannya di The
Aspinal, sebuah diskotik dan tempat dansa yang digunakan di malam hari,
sedang siangnya di hari Jumat tempat itu dibersihkan para relawan guna
dijadikan sebagai tempat melaksanakan shalat Jumat.
Karena jumlah jama’ah semakin bertambah,
maka diperlukan tempat besar yang permanen. Dan dimulailah pencarian
bangunan yang bisa digunakan sebagai masjid sekaligus islamic center.
Pada tahun 1967, ada penawaran pembelian gedung bekas gereja komunitas
Metodis, yang terpaksa dijual karena terbakar. Dengan dana sebesar 2750
pound sterling dari komunitas Muslim lokal, akhirnya bangunan itu
menjadi milik umat Islam. Bangunan itulah yang kini disebut Masjid
Zakariyya itu.
.
.
Tidak hanya Masjid Zakariyya, beberapa
masjid Inggris pun memiliki kisah yang hampir sama dengan kisah masjid
kebanggan Muslim Bolton itu, yakni sama-sama berasal dari gereja yang
dijual, baik karena kehilangan pengikut, atau karena sebab lainnya.
Berikut ini masjid-masjid yang dulunya merupakan gereja:
Tempat
ibadah ini juga dikenal dengan sebutan masjid Brick Lane, karena
posisinya di Brick Lane 52. Bangunan berdinding bata merah itu,
merupakan masjid terbesar di London, yang mampu menampung 4000 jama’ah.
Walau demikian luas, masjid ini belum bisa menampung seluruh anggota
jama’ah shalat Jumat, hingga sering kali jama’ah meluber ke jalan raya.
Mayoritas anggota jama’ah merupakan keturunan Banglades, hingga wilayah
tersebut disebut Banglatow.
Masjid ini memiliki sejarah yang sangat
unik dan panjang. Awalnya, bangunan yang didirikan sejak tahun 1743 ini
adalah gereja Protestan. Dibangun oleh komunitas Huguenot, atau para
pemeluk Protestan yang lari dari Prancis untuk menghindari kekejaman
penganut Katolik. Akan tetapi, karena jama’ahnya menurun, maka gereja
ini dijual.
Di tahun 1809, bangunan ini digunakan
masyarakat London untuk mempromosikan Kristen kepada para pemeluk
Yahudi, dengan cara mengajarkan Kristen dengan akar ajaran Yahudi. Tapi,
program ini juga gagal. Dan bangunan diambil oleh komunitas Metodis
pada tahun 1819.
Komunitas Metodis cukup lama “memegang”
gereja ini. Walau demikian, pada tahun 1897, tempat ini diambil oleh
komunitas Ortodok Independen dan berbagi dengan Federasi Sinagog yang
menempati lantai dua.
Tapi tahun 1960-an komunitas Yahudi
menyusut, karena mereka pindah ke wilayah utara London, seperti Golders
Green dan Hendon, sehingga bangunan ditutup sementara, dan hal itu
berlanjut hingga tahun 1976. Setelah itu gedung itu dibuka kembali,
dengan nama barunya, Masjid Jami’ London.
.
.
Masjid
ini terletak di Burton Road, Didsbury Barat, Manchester. Gedung yang
digunakan sebelumnya merupakan bekas gereja komunitas Metodis, yang
bernama Albert Park. Gedung ini tergolong bangunan kuno, karena telah
beroprasi sejak tahun 1883. Akan tetapi, pada tahun 1962 gereja ditutup,
dan beralih menjadi masjid dan islamic center. Masjid ini, kini mampu
menampung 100 jama’ah, dan yang bertanggung jawab sebagai imam dan
khatib hingga kini adalah Syeikh Salim As Syaikhi.
.
.
Masjid Brent
Terletak
di Chichele Road, London NW2, dengan kapasitas 450 orang, dan dipimpin
oleh Syeikh Muhammad Sadeez. Awalnya, bangunan itu merupakan gereja.
Hingga kini ciri bentuknya tidak banyak berubah. Hanya ditambah kubah
kecil berwarna hijau di beberapa bagian bangunan dan puncak menara.
Masjid New Peckham
Didirikan
oleh Syeikh Nadzim Al Kibrisi. Terletak di dekat Burgess Park, tepatnya
di London Selatan SE5. Kini masjid ini berada di bawah pengawasan Imam
Muharrim Atlig dan Imam Hasan Bashri. Sebelumnya, gedung masjid ini
merupakan bekas gereja St Marks Cathedral.
Masjid
ini terletak di jantung kota Wembley, dekat dengan Wembley Park
Station. Daerah ini memiliki komunitas Muslim besar dan banyak toko
Muslim yang berada di sekitarnya. Gedung masjid ini sebelumnya juga
merupakan bekas gereja. Walau sudah terpasang kubah di puncak menaranya,
tapi kekhasan bangunan gereja masih nampak jelas. Dengan demikian,siapa
saja yang melihatnya, akan mengetahui bahwa bangunan itu dulunya adalah
gereja.
.
.
Selian masjid-masjid di atas, sebuah
gereja bersejarah di Southend juga sudah dibeli oleh Masjid Jami’ Essex
dengan harga 850 ribu pound sterling. Gereja dijual, karena jama’ah
berkurang, sehingga kegiatan peribadatan dipusatkan di Bournemouth Park
Road. Konseskwensinya, gereja ini sudah tidak beroprasi sejak tahun 2006
lalu. Rancananya gereja akan dijadikan apartemen, tapi gagasan itu
ditolak oleh Dewan Southend. Akhirnya, gereja kosong itu dibeli oleh
komunitas Muslim yang tinggal di kota itu, yang juga sedang membutuhkan
tempat untuk melaksanakan ibadah.
.
.
Saat itu jumlah komunitas ini mencapai
250 orang, “gereja bekas” itu merupakan tempat yang sesuai, karena mampu
menampung 300 jama’ah. Tidak banyak dilakukan perubahan pada bentuk
bangunan yang telah berumur 100 tahun lebih itu, hanya perlu menambah
tempat untuk berwudhu dan sebuah menara. (Hidayatullah.com)